Perempuan: Menelisik Harmoni antara Kodrat, Hak, dan Kewajiban Oleh: Yeni Sulistiyani, M. Pd. (Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Pengurus Harian PGRI Kabupaten Lampung Timur)
Diskursus mengenai perempuan sering kali berkutat pada isu patriarki dan ketidaksetaraan gender, konstruksi sosial gender, perspektif feminis, juga representasi perempuan. Namun dari begitu kompleksnya diskursus tersebut, penting juga untuk memahami bagaimana kodrat, hak, dan kewajiban saling beririsan dalam kehidupan seorang perempuan. Kemampuan semua elemen masyarakat dalam memahami ketiga aspek (kodrat, hak, dan kewajiban) secara holistik akan memberikan perspektif yang lebih komprehensif dan adil.
Kodrat yang Tak Membatasi
Ketika kata kodrat digandengkan dengan kata perempuan, maka ia dapat dirumuskan sebagai kualitas yang melekat pada tubuh perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Kualitas-kualitas tersebut membentuk rumusan esensial kodrat perempuan. Pada kenyataannya kualitas dasar tersebut mempunyai implikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mendorong perempuan mengerjakan beberapa kerjaan yang dianggap dekat dengan kodratinya, seperti mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah, mengurus dan membesarkan serta menjaga kesehatan anak. Misalnya, gagasan produksi dan reproduksi pada dasarnya terinspirasi dari umumnya praktik masyarakat yang menempatkan suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai ibu rumah tangga Kodrat perempuan, seringkali dikaitkan dengan kemampuan biologis untuk mengandung dan melahirkan, sayangnya kerap kali disalahartikan sebagai batasan peran dalam masyarakat. Padahal, kodrat ini seharusnya dilihat sebagai sebuah keunikan dan kekuatan. Kemampuan untuk merawat, berempati, dan multitasking, yang sering diasosiasikan dengan peran ibu, adalah kualitas berharga yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik di ranah domestik maupun publik.
Kodrat perempuan menciptakan “the recognizable patterns that distinguish one social system or situation from another” (bentuk-bentuk yang diakui yang membedakan satu sistem sosial atau situasi dari sistem atau situasi lainnya). Dengan mengaplikasikan terma kodrat, perempuan dapat dilihat dari kotak-kotak di mana setiap kotak tersebut memiliki batas-batasnya sendiri, dan mereka mengimplikasikan konsekuensi-konsekuensi tertentu baik dalam bentuk pembatasan, sikap moderat, atau sikap mendukung aktivitas sosial perempuan. Dalam pengertian ini, kodrat perempuan mengambil setidaknya beberapa bentuk yang berbeda, dipengaruhi oleh berbagai sumber wacana: agama, budaya lokal, budaya global, negara, budaya demokrasi yang mendukung civil society, dan lain-lain. Dimensi-dimensi makna kodrat ini dikontekstualisasikan dalam respon terhadap sesuatu yang lain. Seperti di banyak negara, demokrasi adalah salah satu nilai budaya yang paling berpengaruh saat ini. Dalam hal ini, penggunaan kodrat perempuan dikerangkakan dalam bagaimana manusia merespon konsep demokrasi.
Demokrasi melihat demokrasi dan HAM memiliki nilai-nilai yang menghargai setiap anggota masyarakat, hak dan kewajiban yang sama bagi setiap anggota masyarakat dan sikap tidak diskriminatif terhadap sesama. Nilai-nilai ini sebagai contoh yang dapat didialogkan. KIta saat ini memasuki arah implementasi perjalanan demokrasi dalam konteks era kini. Era dengan segala dinamikanya, dengan multi krisisnya, dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Namun, menjadi begitu penting untuk digarisbawahi bahwa kodrat biologis tidak boleh menjadi justifikasi untuk membatasi hak-hak perempuan dalam pendidikan, pekerjaan, partisipasi politik, maupun dalam pengambilan keputusan. Interpretasi kodrat yang sempit bisa saja justru akan menghambat potensi perempuan untuk berkembang secara utuh.
Hak-Hak Fundamental yang Tak Tergoyahkan
Sebagai manusia, perempuan memiliki hak asasi yang sama dengan laki-laki. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan prinsip non-diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Hak-hak ini meliputi hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas pendidikan, hak untuk bekerja dan mendapatkan upah yang adil, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik, serta hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Perjuangan untuk pengakuan dan implementasi hak-hak perempuan telah menorehkan sejarah panjang. Meskipun kemajuan signifikan telah dicapai, tantangan masih ada. Diskriminasi berbasis gender masih terasa dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kesenjangan upah, representasi yang minim di posisi kepemimpinan, hingga maraknya kekerasan berbasis gender. Oleh karena itu, pemahaman dan penegakan hak-hak perempuan adalah fondasi penting untuk mencapai masyarakat yang adil dan setara.
Sebagai makhluk yang memiliki martabat yang sama di hadapan hukum, perempuan di Indonesia memiliki hak-hak yang dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Berikut adalah beberapa hak-hak perempuan yang diatur dalam undang-undang:
Hak Asasi Manusia:
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa setiap orang, termasuk perempuan, memiliki hak asasi yang sama tanpa diskriminasi. Beberapa hak spesifik yang relevan bagi perempuan meliputi:
- Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup (Pasal 9 ayat 1).
- Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (Pasal 29 ayat 1).
- Hak atas pengakuan di depan hukum (Pasal 27).
- Hak atas pekerjaan dan upah yang adil (Pasal 38).
- Hak atas kesehatan (Pasal 41).
- Hak atas pendidikan (Pasal 43).
- Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10).
- Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia (Pasal 33).
- Hak untuk tidak didiskriminasi (Pasal 5).
Perlindungan dari Kekerasan:
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT): Undang-undang ini secara khusus melindungi perempuan dari berbagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS): Undang-undang ini memberikan perlindungan yang lebih komprehensif terhadap korban kekerasan seksual, termasuk perempuan. UU TPKS mengatur berbagai jenis tindak pidana kekerasan seksual, memberikan hak-hak khusus kepada korban seperti hak atas perlindungan, pendampingan, dan pemulihan, serta mengatur mekanisme penanganan perkara yang lebih berpihak pada korban.
Hak dalam Perkawinan dan Keluarga:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Undang-undang ini mengatur hak dan kewajiban suami dan istri secara umum. Beberapa pasal yang relevan bagi hak perempuan antara lain terkait dengan persetujuan dalam perkawinan, kedudukan yang setara dalam perkawinan, serta hak atas harta bersama setelah perceraian.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Undang-undang ini juga memberikan perlindungan khusus kepada anak perempuan.
Hak dalam Ketenagakerjaan:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: Undang-undang ini mengatur hak-hak pekerja perempuan, termasuk hak atas cuti hamil dan melahirkan, cuti haid, serta perlindungan dari diskriminasi di tempat kerja.
Konvensi Internasional yang Diratifikasi:
- Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW): Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Ratifikasi ini mengikat Indonesia untuk mengadopsi kebijakan dan langkah-langkah untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di segala bidang kehidupan.
Penting untuk dicatat bahwa peraturan perundang-undangan terkait hak-hak perempuan terus berkembang dan diperbarui untuk memberikan perlindungan yang lebih baik dan mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia. Sosialisasi dan penegakan hukum yang efektif menjadi kunci agar hak-hak ini dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh perempuan di Indonesia.
Kewajiban yang Setara dan Proporsional
Seiring dengan hak, perempuan juga memiliki kewajiban sebagai anggota masyarakat. Kewajiban ini meliputi tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, penting untuk memastikan bahwa pembagian kewajiban ini bersifat setara dan proporsional, tidak membebani perempuan secara tidak adil baik di dalam ranah domestik maupun publik.
Stereotip gender sering kali menempatkan beban kewajiban domestik dan pengasuhan anak secara eksklusif di pundak perempuan. Padahal, tanggung jawab ini seharusnya dipikul bersama oleh seluruh anggota keluarga. Keterlibatan laki-laki dalam urusan domestik dan pengasuhan anak tidak hanya meringankan beban perempuan, tetapi juga menciptakan lingkungan keluarga yang lebih harmonis dan mendukung perkembangan anak secara optimal.
Selain itu, sebagai warga negara, perempuan juga memiliki kewajiban untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, membayar pajak, mematuhi hukum, serta berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Kesadaran akan hak dan kewajiban yang seimbang akan mendorong perempuan untuk menjadi agen perubahan yang aktif dan konstruktif dalam masyarakat.
Menuju Harmoni yang Ideal
Mencapai harmoni antara kodrat, hak, dan kewajiban bagi perempuan memerlukan perubahan paradigma di tingkat individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Pendidikan yang inklusif dan bebas dari stereotip gender sejak dini adalah kunci untuk membangun pemahaman yang benar tentang peran dan potensi perempuan.
Selain itu, kebijakan publik yang responsif gender, seperti cuti melahirkan dan cuti ayah yang setara, fasilitas penitipan anak yang terjangkau, serta perlindungan hukum yang efektif terhadap diskriminasi dan kekerasan, sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pemberdayaan perempuan.
Pada akhirnya, pemahaman yang mendalam tentang kodrat sebagai potensi, penegakan hak-hak yang setara, dan pembagian kewajiban yang proporsional akan memberdayakan perempuan untuk berkontribusi secara maksimal dalam segala aspek kehidupan, membawa manfaat tidak hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi kemajuan peradaban secara keseluruhan. Perempuan bukan hanya sekadar pelengkap, melainkan pilar penting dalam membangun masa depan yang lebih adil, setara, dan sejahtera.
Perempuan tidak seharusnya terjebak dalam dikotomi antara kodrat, hak, dan kewajiban yang saling bertentangan. Sebaliknya, ketiga aspek ini harus dipahami sebagai elemen yang saling melengkapi dalam mewujudkan potensi penuh perempuan. Dengan menghormati kodratnya, menegakkan hak-haknya, dan memastikan kewajibannya diemban dalam kerangka keadilan, masyarakat dapat menciptakan tatanan yang lebih inklusif, adil, dan sejahtera bagi semua. Pemberdayaan perempuan bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan itu sendiri, tetapi merupakan tanggung jawab dan kesadaran kolektif seluruh elemen masyarakat baik laki-laki maupun perempuan.