Ijazah Tanpa Sekolah: Kemudahan atau Ancaman bagi Masa Depan Pendidikan?

Oleh : Nanang Wiwit Sinudarsono

penulis Ijazah Tanpa Sekolah

Judul seperti "Ijazah Tanpa Sekolah" mungkin terdengar kontroversial dan membingungkan. Wajar jika banyak orang bertanya-tanya: Benarkah seseorang bisa mendapatkan ijazah tanpa sekolah? Bagaimana caranya? Apakah hal ini legal? Dan jika memungkinkan, bagaimana dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan?

Di era digital seperti saat ini, hal-hal yang dulu dianggap mustahil kini bisa saja menjadi kenyataan. Termasuk soal memperoleh ijazah tanpa harus melalui proses pendidikan secara konvensional. Namun, di sinilah muncul dilema besar yang patut kita soroti bersama.

Realitas di Sekolah Formal dan Nonformal

Di lingkungan sekolah formal, memperoleh ijazah tanpa mengikuti proses pendidikan hampir mustahil. Sistem pendidikan formal di Indonesia menekankan kehadiran siswa, partisipasi dalam pembelajaran, ujian berjenjang, serta keterlibatan aktif dalam kegiatan pendidikan dari awal hingga akhir. Tanpa menjalani itu semua, ijazah tidak akan diberikan.

Namun bagaimana dengan sekolah nonformal?

Kursus online terbaik

Tidak semua, tetapi sebagian lembaga pendidikan nonformal membuka peluang untuk praktik-praktik yang merusak semangat pendidikan. Dengan dalih membantu mereka yang putus sekolah, ada oknum-oknum yang menjadikan program pemerintah seperti Pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C sebagai peluang bisnis semata. Tujuan mulia untuk membantu masyarakat kurang mampu mendapatkan pendidikan justru diselewengkan menjadi praktik jual beli ijazah tanpa proses pembelajaran yang benar.

Ijazah Tanpa Proses: Bahaya Nyata di Masa Depan

Bayangkan jika seseorang menjadi guru, dokter, atau insinyur hanya bermodalkan selembar ijazah yang diperoleh tanpa melalui proses belajar. Apa yang akan terjadi? Potensi malpraktik, ketidaksiapan dalam menghadapi tantangan pekerjaan, bahkan kerugian massal akibat ketidakmampuan profesional akan menjadi ancaman nyata.

Program pendidikan kesetaraan pada awalnya memang dirancang sebagai solusi inklusif untuk mereka yang terpaksa berhenti sekolah karena faktor ekonomi atau sosial. Namun ketika program ini disalahgunakan oleh lembaga yang hanya mengejar keuntungan, tanpa memikirkan kompetensi peserta didik, maka kerusakan sistemik sedang dibangun secara perlahan namun pasti.

Alih-alih menolong generasi muda agar bisa mendapatkan akses pendidikan, praktik seperti ini justru menjerumuskan. Dalam jangka pendek mungkin tampak sebagai solusi instan, namun dalam jangka panjang justru dapat menghancurkan kualitas generasi penerus bangsa.

Kursus online terbaik

Kritik untuk Sistem Pendidikan Formal: Fokus yang Salah Arah?

Namun kritik ini tak hanya pantas ditujukan kepada sekolah nonformal. Dunia pendidikan formal pun tak sepenuhnya bersih dari persoalan mendasar. Sering kali, sekolah formal terlalu menekankan pada aspek kelulusan dibandingkan esensi pembelajaran itu sendiri.

Siswa "dipaksa" untuk lulus demi mengejar akreditasi sekolah, target kelulusan, atau prestise lembaga pendidikan. Akibatnya, proses belajar menjadi formalitas semata. Banyak siswa yang merasa tertekan, tidak menikmati proses pendidikan, dan bahkan tidak memahami dengan baik materi yang mereka pelajari, karena yang penting adalah "lulus dan dapat ijazah".

Sistem yang seperti ini menciptakan budaya pendidikan yang superfisial—yang penting nilai bagus, bukan pemahaman mendalam; yang penting lulus, bukan keterampilan nyata.

Pendidikan Harus Kembali ke Akar: Proses, Bukan Sekadar Produk

Pendidikan bukan hanya tentang memperoleh ijazah, melainkan membentuk karakter, membangun kompetensi, dan menanamkan nilai-nilai kebajikan. Jika proses belajar tidak dihargai, maka pendidikan akan kehilangan maknanya.

Baik di jalur formal maupun nonformal, seharusnya ijazah adalah hasil akhir dari suatu proses panjang yang penuh dengan dinamika belajar. Bukan hasil dari transaksi, manipulasi data, atau formalitas yang semu.

Pemerintah, lembaga pendidikan, guru, orang tua, dan masyarakat perlu bersama-sama membangun kembali marwah pendidikan. Pengawasan terhadap lembaga pendidikan nonformal harus diperketat. Namun di saat yang sama, pendidikan formal juga harus berbenah dari dalam—agar tidak hanya berorientasi pada angka dan kelulusan, melainkan pada kualitas manusia yang dihasilkan.

Penutup

Praktik "Ijazah Tanpa Sekolah" mungkin tampak menggiurkan di permukaan, namun ia ibarat api dalam sekam. Jika dibiarkan, bisa membakar seluruh fondasi pendidikan kita. Kita tentu tidak ingin 10–20 tahun ke depan dipenuhi oleh profesional yang hanya sekadar "berijazah" namun tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya.

Mari kembali mengingatkan diri kita: pendidikan adalah proses membentuk manusia, bukan sekadar mencetak sertifikat. Sudah saatnya kita menolak segala bentuk kemudahan yang mengabaikan esensi belajar.

selamat gubernur

selamat bupati

selamat bupati1

logo pgri rsz

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

SEKRETARIAT

PGRI Kabupaten Lampung Timur

Jalan Lintas Timur SMP PGRI 2 Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur 34193

Today
Yesterday
This Week
Last Week
This Month
Last Month
All days
53
237
1453
132204
53
4508
135102
Your IP: 216.73.216.123
01-06-2025
© PGRI Kabupaten Lampung Timur Powered By Mr.Zen

pgri-lamptim.org by PGRI Kabupaten Lampung Timur