Kok Ragu Sekolahkan Anakku Di Sekolahku
Oleh Mas Fajar
Ruangan rapat itu jadi senyap. Semua yang hadir terdiam. Tidak ada satu orang pun yang bersuara. Beberapa guru bahkan menudukkan kepala dengan sangat dalam. Ibu Kepala Sekolah yang duduk di posisi paling tengah, yang biasanya bersuara lantang pun terdiam sambil meremas-remas kertas tisu yang dipegangnya. Semua peserta rapat disibukkan dengan pikirannya masing-masing seperti mem-flash back semua hal yang sudah terjadi di sekolah itu. Pertanyaan yang terucap dari Wakakur itu betul-betul terasa menohok dan menembus relung jiwa dan pikiran seluruh peserta rapat. “Bapak ibu, seandainya bapak/ibu memiliki putra- putri seusia siswa siswi kita pada saat ini, dengan guru dan tenaga kependidikannya adalah kita semua yang ada di ruangan ini, apakah bapak ibu bersedia dan ikhlas untuk menyekolahkan mereka, anak anak kita tersebut di sekolah ini”, dengan suara berat tertahan beliau bertanya kepada peserta rapat. “Sepertinya sebagai orang tua tak satupun dari kita ikhlas menyekolahkan mereka di sekolah ini. Padahal yang menjadi guru adalah kita sendiri para orang tuanya. Mengapa ? Karena kita melihat dan merasakan sendiri bagaimana kondisi sekolah ini. Jam kosong hampir terjadi setiap saat. Terlambat masuk ke dalam kelas adalah hal biasa yang terjadi. Marah-marah kepada siswa seperti sudah menjadi kebiasaan kita. Merokok di depan siswa dan hal-hal lainnya”, lanjutnya.
Ӝ֍⁑
Dari riset kecil yang penulis lakukan, ada fenomena banyak rekan guru yang enggan menyekolahkan anak kandungnya di sekolah-sekolah di tempat guru tersebut bertugas atau di sekolah-sekolah umum terutama sekolah negeri. Mereka memilih menitipkan anak-anaknya untuk bersekolah di sekolah swasta berbasis kegamaan seperti MI/Mts/Aliyah, sekolah dengan kurikulum islam terpadu, atau sekolah swasta lainnya. Dari diskursus yang terjadi terkait fenomena itu, alasannya bukan karena masalah fasilitas Pendidikan, karena ternyata fasilitas yang ada di sekolah tersebut tidak lebih baik dari sekolah sekolah negeri atau tempat tugasnya, Bukan juga karena faktor pengajar dimana pengajar di sekolah tersebut menuntut ilmu sebelumnya karena ternyata banyak pengajarnya juga dulu satu kampus dengan guru tersebut. Apakah karena faktor murahnya sekolah-sekolah ini? Juga tidak. Bahkan sekolah relatif jauh lebih mahal.
Lalu apa yang menjadi alasan kuat sehingga mereka yakin untuk menitipkan anak-anaknya bersekolah di sana. Berikut kemungkinan beberapa alasannya;
Semua orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang baik dan menyekolahkan di tempat terbaik. Ukuran baik yang menjadi alasan mereka para orang tua adalah menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang teori beriman dan keimanan itu menjadi laku nyata di sekolah tersebut. Orang tua akan merasa sangat beruntung jika mendapati anak-anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang patuh dalam pelaksanaan ibadahnya dan aktifitas itupun nyata dilaksanakan di sekolah seperti sholat dhuha setiap pagi bagi yang muslim, bertambahnya hafalan Qur’an, sholat berjamaah dan hal lainnya.
Keteladanan guru. Guru yang baik, lembut tutur katanya, penyabar , ramah, dan dekat dengan siswa adalah sosok guru yang diidamkan oleh para orang tua. Juga guru yang jika Sekolah menjadwal kegiatan sholat berjamaah maka tidak ada satupun gurunya yang tinggal di ruang kantor dan asyik ngobrol dengan temannnya tetapi mereka akan membersamai siswanya ikut sholat berjamaah. Guru yang ketika melarang siswanya merokok maka dia pun tidak merokok karena dia jadi role modelnya. Guru yang lisannya selalu terjaga karena dia tidak ingin anak-anaknya berbicara kasar lagi kotor. Guru yang yang dia juga selalu belajar karena dia selalu mengingatkan siswa(i)nya juga belajar.
Kompetensi guru. Alasan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah semisal itu sebab mereka meyakini bahwa gurunya adalah guru yang cakap dan kompeten di bidangnya. Dari informasi yang didapat penulis, sekolah-sekolah ini menginvestasikan biaya yang sangat besar untuk kegiatan peningkatan kompetensi gurunya. Jauh sebelum, istilah komunitas belajar (Kombel) dengan segala aktifitas kegiatannya muncul, sekolah seperti ini sudah melakukannya. Dan ini menjadi budaya positif yang ada di sekolah dan warga sekolahnya. Mereka tak pernah merasa rugi untuk mengundang narasumber nasional untuk meng_update dan meng_upgrade SDM mereka. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai sebuah investasi yang akan mereka harapkan panen atau hasil setelahnya. Maka, wajar tanpa melebih-lebihkan walaupun kita satu almamater dan bahkan satu angkatan sekalipun dengan mereka ternyata kita merasa seperti ketinggalan .
Budaya positif antarwarga sekolah bersama wali murid dan kejelasan road map atau peta jalan pencapaian visi sekolah . Istilah-istilah parenting dengan beragam kegiatan yang dikemas baik dengan beragam tema, belakangan ini semakin akrab di telinga kita. Padahal, sekolah seperti ini sudah jauh-jauh hari melakukannya. Kesadaran bahwa untuk mewujudkan pendidikan terbaik harus dilakukan bersama sama dan bukan tanggung jawab sekolah saja betul-betul dipahamkan sekolah kepada para orang tua. Mereka menyimpulkan, bukan hanya siswa saja yang harus belajar, tetapi juga orang tua. Ah…. Sejujurnya memang ada ketertinggalan yang harus segera disikapi oleh sekolah-sekolah umum atau kalau tidak betul-betul sekolah umum yang akan ditinggal.
Gambaran di atas semoga menjadi refleksi kita seluruh insan pendidik bahwa peserta didik yang dititipkan kepada kita adalah sebuah amanah besar yang harus kita pertanggungjawabkan. Mereka meyakini bahwa kita semua adalah insan pendidik yang Amanah, yang bisa ditiru keladanannya, yang memiliki kompetensi mumpuni baik sebagai guru, dan yang melakukan tugas dengan sepenuh hati dan sepenuh cinta bukan hanya sebagai penggugur kewajiban semata. Kita juga harus mampu dan penuh percaya diri menjadikan sekolah-sekolah kita adalah sekolah terbaik untuk siswa siswa kita karena kitalah gurunya, kita tenaga kependidikannya, kita kepala kepala sekolahnya. Sekolah yang kita sendiri tidak ragu seandainya juga kita punya anak kita akan sekolah anak kita di sini.
“ SMP Negeri …Islam Terpadu Bandar Lampung”, begitu seloroh seorang mantan kepala sekolah di salah satu sekolah negeri ternama di Propinsi Lampung menyebutkan sekolahnya di sela-sela obrolan pada saat itu pasca COVID_19 dimana sekolah sekolah umum kehilangan peminat karena orang tua berbondong menyekolahkan anaknya di sekolah keagamaan. Beliau bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut karena untuk menjawab tantangan dan juga keinginan dan harapan masyarakat, program-program yang sebelumnya hanya ada di sekolah-sekolah keagamaan saja beliau programkan di sekolah negeri tersebut. Hampir seribuan siswanya saat itu dan dilanjutkan hari ini terbiasa melaksanakan sholat dhuha berjamaah. Sekolah ini juga menerima siswa berprestasi dari jalur tahfidz. Nilai-nilai keagamaan diimplementasikan di sekolah selain bahwa tentu prestasi akademis dan non akademis adalah sebuah budaya positif yang selalu dijaga.
Semoga bermanfaat
Pugung Raharjo, 21 Maret 2025