Manifestasi Profetik Dalam Puisi
D. Zawawi Imron

Oleh: Sulistiyani, M. Pd.

Karya sastra yang bernilai etis dan moral mengacu pada gambaran pengalaman implementasi dalam bersikap dan bertindak, menumbuhkan karakter, dan menjadi media penanam nilai-nilai pencerahan bagi penikmatnya. Hal ini menjadi sangat bernilai kebermanfaatan selain nilai-nilai keindahannya disebabkan kondisi bangsa kita saat ini yang sangat membutuhkan sentuhan nilai-nilai. Persoalan-persoalan moral dan etik semakin tak terbendung arus alirnya di tengah-tengah kemajuan peradaban. Karya sastra hadir kemudian menjadi media pendekatan untuk menanamkan nilai-nilai moral dan etik tersebut.

Sastra profetik sebagai gagasan orisinal Kuntowijoyo yang muncul berawal dari realitas bahwa pada umumnya orang mendefinisikan sastra Islam – dan seni Islam pada umumnya – terlalu sempit, yakni seni Islam sebagai seni yang menggugah kesadaran ketuhanan. Padahal menurut Kuntowijoyo tidak demikian, karena kesadaran ketuhanan barulah sepertiga dari kebenaran sastra profetik.

Dalam rangka perbaikan dan pencerahan jiwa inilah, Kontowijoyo menawarkan konsep sastra yang transendental guna menanggapi isu yang ada dalam perkembangan sastra pada saat itu. Di mana ada karya-karya sastra yang lahir yang lebih mengedepankan syahwat dan vulgar, sehingga Kuntowijoyo menganggap perlu kehadiran sastra transendental dalam hal ini dikenal dengan sastra profetik. Sastra profetik sebagai pengembangan dari sastra yang bercorak religius sebagaimana dalam sastra profetik ada unsur yang harus terpenuhi bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan sebaliknya hubungan manusia dengan yang lainnya (Suraiya, 2017:143).

Berbicara tentang nilai-nilai keprofetikan sebuah karya sastra bukanlah masalah yang sederhana.  Hal ini disebabkan oleh gagasan-gagasan tentang profetik masih belum banyak diperbincangkan karena masih banyak yang belum memahami apa itu profetik dan bagaimana wujud kegiatan keilmuaanya terutama dalam menganalisis sebuah karya sastra. Sebagai seorang ilmuwan yang meluncurkan paradigma profetik ini, Kuntowijoyo mencoba melihat dari sudut pandang ilmu sosial profetik atau kalau di Indonesia menurut Ahimsha (2011) dapat diartikan sebagai Ilmu Alam Profetik. Paradigma Profetik menurut pandangan Kuntowijoyo dimaksudkan sebagai ilmu pengetahuan yang berlandaskan agama Islam, di mana karya sastra yang ditulis oleh pengarang merupakan karya sastra bercorak religius yang unsurnya tidak hanya pada hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Sastra profetik adalah sastra yang berjiwa transendental dan sufistik karena berangkat dari nilai-nilai ketauhidan, tetapi yang setelah itu juga memiliki semangat untuk terlibat dalam mengubah sejarah kemanusiaan yang karena itu memiliki semangat kenabian. Sebagai aliran di dalam tradisi intelektual

Islam, sastra sufistik dapat disebut juga sebagai sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis. Sastra transendental memang telah memiliki perjalanannya sendiri yang panjang. Dua contoh sastrawan Islam yang menulis secara sufistik dan transendental adalah Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal.

Sastra profetik mempunyai kaidah-kaidah yang memberi dasar kegiatan, sebab ia tidak saja menyerap, mengekspresikan, tapi juga memberi arah realitas. Menurut kuntowijoyo bahwa sastra profetik juga sastra dialektik, ini berarti bahwa sastra profetik berhadap- hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial budaya secara beradab. Oleh karena itu, sastra profetik adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan, sastra ini tidak mungkin menjadi sastra yang terpencil dari realitas (Kuntowijoyo dalam Suraiya, 2017:148).

Sastra hanya akan berfungsi sepenuhnya apabila ia sanggup memandang realitas dari suatu jarak. Karena itulah kuntowijoyo menjelaskan bahwa “sastra lebih luas dari realitas”. Sastra membawa manusia keluar dari belenggu realitas atau sastra membangun realitasnya sendiri. Menurutnya lagi bahwa sastra adalah renungan tentang realitas, namun realitas sastra adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui symbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas (Kuntowijoyo, 2005:8).

Berangkat dari gagasan tersebut, banyak sastrawan yang menuliskan karyanya dengan berlandaskan ajaran-ajaran Islam, namun tidak semua karya tersebut dapat dikategorikan karya sastra berparadigma profetik. Salah satu karya sastra yang menurut penulis menggunakan landasan profetik adalah kumpulan puisi “Mengaji Bukit Mengeja Danau” karya D. Zawawi Imron.

Paradigma profetik yang tertera dalam karya sastra menegaskan bahwa dunia imajinasi pun membutuhkan sentuhan Ilahiah agar mampu memberikan efek perubahan. Melalui karya sastra, pengarang bisa memberikan contoh pada pembaca tentang kondisi dan kedudukannya sebagai seorang manusia. Peran sebagai seorang manusia/khalifah ditangkap oleh pengarang dan digambarkan dalam setiap karyanya yang biasanya disebut dengan amanat. Peran ini juga berangkat dari pemikiran Kuntowijoyo yang resah dengan kondisi manusia di era globalisasi, sehingga mendorong sastrawan melahirkan karya yang bernafaskan Islami. Atas dasar pemikiran ini, maka timbullah paradigma profetik dalam karya sastra.

Paradigma tersebut digunakan sebagai pedoman dan pegangan dalam menghasilkan karya sastra yang baik. Selain itu, hubungan antara karya sastra dengan masyarakat begitu dinamis dan selalu mengalami perubahan. Hal ini menandai adanya sebuah harapan bahwa amanat yang tertera dalam karya sastra mampu memberikan keteladanan pada setiap pembaca, sehingga para pembaca mampu menemukan nilai-nilai tauhid dalam karya sastra dan mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sejak puisi pertamanya berhasil menembus redaksi Harian Bhirawa pada 1976, penyair D. Zawawi Imron, sampai kini telah  menerbitkan 15 antologi puisi. Semerbak Mayang yang terbit pada 1977 adalah antologi puisi pertamanya. Pria kelahiran Madura pada 1943 ini termasuk penyair produktif. Setelah Semerbak Mayang, nyaris tiap tahun Zawawi menerbitkan kumpulan sajak: Madura Akulah Darahmu (1978), Dusun Siwalan (1979), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985), Derap-derap Tasbih (1993) dan Berlayar di Pamor Badik (1994). 

Produktivitas dalam menulis terjadi saat didapuk menjadi penyair tamu di rumah puisi milik penyair Taufik Ismail. Selama dua bulan, antara Desember 2008 hingga Januari 2009, dia menulis 110 sajak saat bermukim di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat, bersama Novelis Ahmad Tohari. Hasilnya kemudian dibukukan pada 2013 dengan judul: Mengeja Bukit, Mengaji Danau.

Zawawi telah berserah diri menyatu dengan alam. Alam laut, pantai dengan layar dan teluk mewarnai diksi-diksinya. Peleburan terhadap kesemestaannya membuktikan bahwa Zawawi telah masuk alam takambang jadi guru menyatu dalam setiap kata-katanya, seperti sepotong puisinya yang berjudul “Teluk”

Kau bakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya

Pada puisi tersebut, Zawawi berusaha mengungkap rahasia perjalanan panjang yang sarat dengan keletihan. Namun, perjalanan hidup tak hanya berujung dengan keletihan tanpa bulir-bulir makna. Bukan sebuah kekosongan-kekosongan bahkan kehampaan atau sekadar perburuan sebuah takdir. Pesan-pesan laut dengan kekayaan dan misteri di dalamnya yang memberikan kehidupan bagi umat manusia. Laut sebagai muara berkumpulnya asin kehidupan yang demikian luas dan dalam.

Memburu takdirmu yang menderu

Dan teluk ini

Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu

Memberangkatkan dahaga berlayar

Larik-larik tersebut memberikan gambaran adanya bentuk humanisasi, yaitu penumbuh rasa perikemanusiaan. Humanisasi kita perlukan sebab ada tanda-tanda bahwa masyarakat kita sedang menuju ke arah dehumanisasi. Dehumanisasi ialah objektivasi manusia (teologis, budaya, massa, negara), agresivitas (kolektif, perorangan, kriminalitas), loveliness (privatisasi, individualisasi), dan spiritual alienation (keterasingan spiritual). Dalam dehumanisasi perilaku manusia lebih dikuasai oleh bawah sadarnya daripada oleh kesadarannya. Dehumanisasi ini sudah menggerogoti masyarakat kita, yaitu terbentuknya manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa. Hal ini sebagaimana tergambar pada larik berikut.

Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu

Memberangkatkan dahaga berlayar

Di teluk ini jika diibaratkan jiwa manusia yang sarat dengan kekosongan tanpa hadirnya “cahaya” keIlahian maka yang terwujud hanyalah jiwa-jiwa gundah, resah dengan kecemasan-kecemasannya. Tidak meletakkan kesadaran pada Tuhan sebagai tempat bersandar dan berpulang. Kondisi kemanusiaan akan semakin kering dan kehausan. Duniawi menjadi tujuan utama dalam kehidupan yang tak habis-habis untuk diburu demi memenuhi dahaga jiwa yang terus kering.

Puisi di atas sudah menunjukkan bahwa Zawawi selain dekat dengan alam ia pun tidak lupa akan Tuhannya dengan pemanfaatan diksi “janjimu” yang dimungkinkan ia tunjukkan kepada Tuhan, meskipun kata ganti tersebut tidak dituliskan dengan menggunakan ejaan –Mu. Hal ini dapat disebabkan pengejawantahan dia telah begitu lekat dan melebur dengan Tuhan dalam keyakinan dirinya yang mengurat dan menadi. Nilai-nilai keyakinan akan keberadaan Tuhan dengan segala ciptaannya membuat penyair semakin dekat dengan Sang Pencipta.

Secara epistemologi strukturalisme transendental, puisi ini mampu melampaui keterbatasan akal-pikiran manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Jika kehidupan dan penuangan ide dalam sebuah karya sastra dalam hal ini puisi mampu merujuk pada pemahaman dan penafsiran Kitab-Kitab Suci atas realitas, dan memilih epistemologi Strukturalisme Transendental maka sastra profetik akan terus tumbuh dan berkembang dalam jiwa-jiwa letih dan dahaga duniawi. Karya sastra akan berkemampuan untuk menyentuh kesadaran tentang hakikat pencitaan manusia sekaligus tujuan diciptakannya di dunia, yaitu untuk beribadah.

Epistemologi Transendental dalam karya sastra selalu merujuk pada Kitab-Kitab Suci itu sebagai wahyu dari Yang Maha Transenden, Yang Abadi, Al Baqi; di samping Kitab-Kitab Suci itu juga transendental, melampaui zamannya, yakni masih dapat dipergunakan sebagai petunjuk bagi orang yang beriman meskipun sudah tua umurnya. Kitab suci Al Qur-an, misalnya, sekalipun telah diturunkan lebih dari 1400 tahun yang lalu, tetap tidak pernah ketinggalan zaman dan tidak termakan oleh waktu. Oleh sebab itu kitab suci dinamakan abadi dan “melampaui zamannya”.

Secara populer masyarakat memandang senja pada sebuah teluk di bibir pantai memanglah memberikan nuansa keindahan. Fenomena yang biasa terjadi hal semacam ini dinikmati bersama orang yang sangat dicintai adalah sebuah pemandangan terindah. Sebuah waktu yang tak ingin dilupakan dan menimbulkan sebuah kedekatan yang lebih di antara dua insan. Namun, Zawawi melebihkan alam semesta yang begitu indah sebagai ciptaan Tuhan sebagai sebuah keindahan karya cipta Sang Mahacipta begitu indah sebagai ke-Mahakuasaan-Nya.

Janjimu akan tersemai

Dan di barat piramid jiwa

Larik-larik ini sebagai kredo yang disempilkan oleh Zawazi dalam puisinya. Janjimu lirik yang dia tujukan sebagai kata ganti yang memungkinkan untuk dia tujukan kepada Tuhan dan “di barat” sebagai penanda manusia menghadap untuk bershalat, melakukan ritual pengabdian kepada Tuhannya. Dalam konteks ini adalah shalat. Shalat sebagai bangunan piramida yang dia tujukan mengerucut tajam ke atas sebagai bentuk transendental kepada penguasa jagat raya yaitu Tuhan.

Segenap keletihan bibir pantai tersembuhkan oleh “laut yang berloncatan”. Keletihan yang menggenapi perjalanan manusia disembuhkan oleh lautan teduh kasih-Nya. Yang di dada-Nyalah kita berserah diri dan bersandar.

Dalam puisinya yang lain, Zawawi berusaha menyerukan tentang hakikat hubungan transendental manusia kepada Tuhannya., yaitu puisi Zikir berikut.

ZIKIR

alif, alif, alif
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan terang
hingga aku berkesiur
pada angin kecil takdir-mu
hompimpah hidupku, hompimpah matiku,
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,
hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif, alif, alif!

alifmu yang satu
tegak di mana-mana


1983

Pada puisi tersebut Zawawi Imron mengungkapkan zikir sebagai sebuah cara menguak tentang rahasia alif sebagai huruf pertama dalam deret huruf hijaiyah. Alif sebagai huruf pembuka kesemestaan deret huruf lainnya untuk membentuk suku-suku, kata, kalimat, hingga menjadi sebuah wacana besar sarat makna. Alif berperan sebagai kompas penunjuk arah bagi kehidupan manusia.

Alif yang tegak sebagai batang pohon kehidupan tegak lurus ke langit dan menghunjam kuat ke dalam tanah dengan akar-akar yang kuat dan menghidupan rimbunan daun-daun dan buah-buah. Padahal ada kala hidup itu seperti hompimpa, seperti permainan yang sarat dengan menang kalah. Bagi yang memahami hakikat hompimpa dalam bahasa sansekerta, yakni dari Tuhan akan kembali ke Tuhan maka kemudian akan mengaitkannya sebagaimana termaknakan dalam potongan ayat Al-quran Surah Al-Baqarah ayat 156 yang memiliki arti  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).

Puisi tersebut memberikan jawaban atas keterlibatan penyair dan tokoh agama dalam menjalankan peran untuk melakukan transformasi masyarakat. Melalui puisi, penyair atau tokoh agama menjalankan peran intelektualnya dan tidak mendirikan menara abai bagi masyarakat. Penyair tak hanya sibuk dengan kata-kata dan tokoh agama sibuk dengan ibadahnya dan melupakan masyarakatnya. Sebagaimana Kuntowijoyo memberikan anggapan bahwa kesadaran ketuhanan belum berarti kaffah kalau tidak disertai kesadaran kemanusiaan. Sastra profetik menghendaki keduanya.

Puisi Zikir tampil membongkar sesuatu yang telah mapan, padahal belum mapan. Alif yang tampil sebagai huruf semata sebagai bagian dari deret huruf yang berfungsi ketika dirajut bersama huruf lainnya. Realitasnya zikir sebagai proses mengingat Tuhan sebagai keyakinan bahwa hidup dan nasib harusnya disandarkan kepada Tuhan sebagaimana  hompimpa.

Alif yang tegak lurus, lancip di ujungnya diumpamakan sebagai linggis hati untuk menggali hati agar tercipta mata air, sumur, sungai, laut, dan samudera dengan gelombangnya. Zikir dalam puisi ini membangun kesadaran bahwa hidup manusia tidak hanya terbatas pada hidup di dunia tetapi juga terdapat kehidupan di balik alam materi. Ada hidup setelah mati. Tegaknya zikir diharapkan berkemampuan untuk mendapatkan keselamatan hidup materiil di dunia namun sekaligus keselamatan dan kebahagiaan hidup spiritual di akhirat nanti. 

Puisi-puisi Zawawi Imron dapat ditangkap sebagai aktivitas dakwah yang dituangkan melalui medium puisi untuk mewujudkan kebaikan, kebahagiaan, keselamatan, dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan akhirat yang diridhoi Allah. Aktivitas ini juga dimaknai sebagai bagian dari perannya sebagai khalifah di muka bumi.

Dakwah melalui puisi sebagai aktivitas yang menggembirakan. Aktivitas tersebut sebagai pendekatan dakwah dalam menyuntikkan etika profetik dalam aktivitas kepenyairan. Puisi sebagai media mempunyai proyeksi yang mengarah pada pencapaian kesadaran kualitas keberagamaan seseorang yang pada gilirannya mampu membentuk sikap dan perilaku yang memantapkan perkembangan sosial.

Demikianlah D. Zawawi Imron mengungkapkan puisinya secara profetik menenggelamkan dirinya ke dalam kesemestaan dan melihat fenomena yang terjadi namun tak ia kandaskan dirinya ke dalam jagat kekuasaan. Dia meleburkan dirinya dalam kekuatan Maha Kuasa dengan segala ciptaan-Nya dengan segenap penghambaan diri dan syukur terhadap nikmat-Nya. 

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsha. Putra H.S. 2011.  Paradigma, Epistemologi dan Etnografi dalam Antropologi. Surabaya: Makalah Ceramah. https://www.academia.edu/23715274/PARADIGMA_EPISTEMOLOGI_dan_ETNOGRAFI_dalam_ANTROPOLOGI_Heddy_Shri_Ahimsa_Putra diakses pada 09 Januari 2021.

Aldo, Mustofa. Susah Payah Dzawawi Imrom Menulis Puisi”IBU”. https://www.liputan6.com/regional/read/3922709/susah-payah-d-zawawi-imron-menulis-puisi-ibu diakses  pada 09 Januari 2021.

Kuntowijoyo. 2005. Maklumat Sastra Profetik, dalam Majalah Horizon Jakarta, Yayasan Indonesia thn xxxIx no.5

Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Putra, H.S.A. 2001. Paradigma Profetik, Mungkinkah? Perlukah?. Makalah disajikan dalam acara Sarasehan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Februari 2001.

Suraiya. 2017. Sastra Profetik: Kajian Analisis Pemikiran Kuntowijoyo. ADABIYA, Volume 19 No. 2 Agustus 2017

 

Tentang Penulis

Yeni Sulistiyani lahir di Lampung, 03 Desember 1977.  Yeni menyelesaikan studi S1 dan S2 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung. Hingga saat ini, ia masih menjadi seorang ASN guru yang mendidik di UPTD SMP Negeri 1 Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur.

Ia adalah penulis buku Analekta Telaah Sastra tahun 2018 oleh FAM Publishing dan buku puisi Perempuan Berambut Perak tahun 2018 oleh Aden Jaya Publishing. Buku Kumpulan Esai dan Kritik yang telah dibukukan secara berjamaah, yaitu Yang Bicara Hanya Untukmu  tahun 2017,  Jejak Pena tahun 2018, Antologi Kritik Sastra dan Esai Jilid Kedua tahun 2021,  Esai Guru Masa Kini: Teruntuk hari Guru  tahun 2021, dan puluhan buku kumpulan puisi yang ditulis berjamaah dengan komunitas sastra se-Indonesia, juga kumpulan cerpen berjamaah. 

Buku-buku yang telah ditelaah adalah Anak-Anak Air karya Heru Antoni, Hanya Untukmu karya Sulis Bambang, Gending Sunyi karya Alvin Shul Vatrick, Menjaring Angin karya Loddy Surentu, Jejak Rindu karya bersama Bumi Mandeh Bapuisi, Kuberi Kau Nama: Tuan. Bukan Fulan Karya Indra Intisa. Ulat Perempuan Musa Rupat karya Norham Abdul Wahab, Kidung Asmaraloka karya Srie Astuty Asdi, dan Senja Gugur di Matamu karya Ayub Kumala, Apakah Laut Memiliki Ingatan? Karya Ulvha Riska Safitri, Bulan di Langit Anggrek karya Idris Abdul Latif, Menganyam Segalur Mimpi  karya Fathya Santari. Baginya, menulis adalah jalan mewaraskan dan mengarifkan diri.

selamat gubernur

selamat bupati

selamat bupati1

logo pgri rsz

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

SEKRETARIAT

PGRI Kabupaten Lampung Timur

Jalan Lintas Timur SMP PGRI 2 Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur 34193

Today
Yesterday
This Week
Last Week
This Month
Last Month
All days
49
255
49
125943
2977
6531
127151
Your IP: 3.137.186.200
21-04-2025
© PGRI Kabupaten Lampung Timur Powered By Mr.Zen

pgri-lamptim.org by PGRI Kabupaten Lampung Timur